Sukoharjo, 15 Mei 2025 — Publik tengah menyoroti rancangan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang baru dirilis oleh pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dokumen strategis tersebut menunjukkan bahwa batu bara masih mendominasi lebih dari 55 persen dari total bauran energi nasional dalam satu dekade mendatang, memicu perdebatan mengenai keseriusan Indonesia dalam menjalankan komitmen dekarbonisasi dan transisi energi bersih.
Dalam rencana tersebut, pemerintah memang berupaya meningkatkan porsi energi terbarukan, khususnya dari tenaga surya, angin, dan biomassa, namun proporsinya dinilai masih terlalu kecil untuk mengimbangi dominasi energi fosil. Target penambahan kapasitas listrik dari energi surya sebesar 15 gigawatt dan dari tenaga angin sebesar 6 gigawatt hingga 2034 dianggap belum cukup ambisius untuk mencapai jalur net-zero emission pada tahun 2060.
Sejumlah organisasi lingkungan dan lembaga riset energi mengkritik isi RUPTL tersebut karena masih membuka peluang investasi baru di sektor pembangkit batu bara. Mereka menilai hal ini berisiko menjerat Indonesia dalam jebakan infrastruktur karbon tinggi (carbon lock-in) yang sulit dihentikan di masa depan. Selain memperparah emisi gas rumah kaca, ketergantungan pada batu bara juga dikhawatirkan menghambat perkembangan teknologi energi bersih di tingkat nasional dan daerah.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyatakan bahwa pemerintah seharusnya sudah memulai langkah konkret untuk menghentikan proyek batu bara baru dan mengalihkan seluruh investasi ke sektor energi terbarukan berbasis komunitas. “Kita tidak bisa berbicara tentang dekarbonisasi jika 55 persen listrik kita masih berasal dari batu bara. Fokus seharusnya bergeser ke model transisi energi yang inklusif, yang melibatkan masyarakat lokal sebagai produsen energi bersih,” ujarnya.
Selain desakan untuk menghentikan proyek batu bara, para aktivis juga menyoroti pentingnya penguatan jaringan energi terdesentralisasi di wilayah pedesaan dan kepulauan. Pembangkit listrik tenaga surya skala kecil dan mikrohidro dinilai lebih efisien dan ramah lingkungan untuk menjangkau daerah-daerah yang belum sepenuhnya teraliri listrik. Pendekatan ini juga dapat menciptakan lapangan kerja hijau baru dan mempercepat pemerataan pembangunan energi di seluruh Indonesia.
Pemerintah melalui ESDM menegaskan bahwa RUPTL kali ini merupakan “RUPTL hijau paling ambisius” dibanding periode sebelumnya, dengan peningkatan porsi energi terbarukan sebesar 27 persen hingga tahun 2034. Namun, pengamat menilai bahwa keberhasilan transformasi energi tidak hanya bergantung pada target, tetapi juga pada konsistensi implementasi dan dukungan kebijakan fiskal yang kuat, termasuk insentif untuk investasi hijau dan penghapusan subsidi energi fosil secara bertahap.
Sejumlah pakar ekonomi energi juga memperingatkan bahwa ketergantungan jangka panjang terhadap batu bara justru dapat merugikan ekonomi nasional dalam jangka menengah, karena tren global menunjukkan penurunan minat investor terhadap energi kotor. Negara-negara mitra dagang utama Indonesia, seperti Uni Eropa dan Jepang, kini mulai menerapkan kebijakan tarif karbon (carbon border adjustment mechanism) yang dapat mempengaruhi daya saing ekspor nasional jika transisi energi tidak segera dilakukan.
Dengan situasi tersebut, para ahli sepakat bahwa RUPTL 2025–2034 perlu direvisi agar selaras dengan visi net-zero emission 2060 dan komitmen Perjanjian Paris. Pemerintah diharapkan mampu menunjukkan keberanian politik untuk menata ulang arah kebijakan energi menuju masa depan yang lebih bersih, adil, dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
