Proyek Perkebunan Pangan di Indonesia Picu Kekhawatiran Deforestasi

Sukoharjo, 12 Mei 2025 — Rencana ambisius pembangunan proyek perkebunan pangan dan bioetanol seluas 4,3 juta hektare di wilayah Kalimantan Tengah oleh sebuah konsorsium perusahaan nasional tengah menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Proyek yang disebut-sebut sebagai bagian dari strategi nasional menuju kemandirian pangan dan energi terbarukan ini diproyeksikan menjadi salah satu proyek agrikultur terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Namun, di balik rencana megah tersebut, muncul kekhawatiran mendalam mengenai potensi dampaknya terhadap lingkungan dan keberlanjutan ekosistem hutan tropis di pulau Kalimantan.

Sejumlah lembaga lingkungan dan organisasi konservasi internasional memperingatkan bahwa proyek berskala besar ini berpotensi mengakibatkan deforestasi masif di area yang selama ini menjadi habitat penting bagi berbagai spesies langka, termasuk orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dan burung kasuari, yang keduanya masuk dalam daftar spesies terancam punah. Selain itu, proyek ini juga dikhawatirkan akan memperparah degradasi lahan gambut, meningkatkan risiko kebakaran hutan, serta memperburuk emisi karbon yang justru bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai Perjanjian Paris.

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menegaskan bahwa proyek ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar fosil melalui pengembangan bioetanol berbasis tanaman tebu dan singkong. Pemerintah juga menjanjikan bahwa sebagian besar lahan yang akan digunakan merupakan area “non-hutan” atau lahan tidak produktif yang sudah mengalami alih fungsi sebelumnya. Namun demikian, para pengamat lingkungan menilai bahwa mekanisme pengawasan dan verifikasi lapangan masih lemah, terutama dalam hal penentuan batas antara kawasan hutan lindung, hutan produksi, dan lahan yang sah untuk dikembangkan.

Aktivis lingkungan menuntut agar proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dilakukan secara terbuka dan partisipatif, melibatkan masyarakat adat serta komunitas lokal yang selama ini bergantung pada sumber daya hutan untuk kehidupan mereka. Mereka juga mendesak agar seluruh dokumen perencanaan dan hasil kajian ilmiah dipublikasikan kepada publik untuk menjamin transparansi dan mencegah terjadinya pelanggaran hukum di lapangan.

Salah satu perwakilan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekologis. “Kalimantan adalah paru-paru dunia. Jika kita kehilangan hutan di sini, dampaknya akan dirasakan tidak hanya oleh masyarakat lokal, tetapi juga oleh iklim global,” ujarnya dalam konferensi pers di Palangka Raya.

Pakar ekonomi lingkungan menambahkan bahwa keberhasilan proyek semacam ini sangat bergantung pada sejauh mana pemerintah mampu menegakkan prinsip pembangunan berkelanjutan yakni menggabungkan pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan sosial secara seimbang. Tanpa kebijakan berbasis sains dan tata kelola yang ketat, proyek besar seperti ini justru berisiko menimbulkan krisis ekologis baru di masa depan.