Pemerintah Tutup Proyek Perumahan di Hulu Sungai Bekasi Akibat Pelanggaran Lingkungan

Sukoharjo, 25 Mei 2025 — Pemerintah Kabupaten Bekasi mengambil langkah tegas dengan menutup sementara operasional salah satu proyek perumahan mewah di kawasan Cikarang Barat setelah ditemukan adanya pelanggaran serius terhadap izin lingkungan serta indikasi kerusakan lahan resapan air. Keputusan ini diambil setelah tim pengawas dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bekasi melakukan inspeksi lapangan dan mendapati bukti nyata bahwa pengembang gagal memenuhi komitmen pengelolaan lingkungan sebagaimana tercantum dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Menurut hasil investigasi, pihak pengembang dinilai lalai dalam pembangunan sistem drainase dan pengendalian limpasan air hujan, sehingga menyebabkan tingginya sedimentasi dan genangan di area sekitarnya. Kondisi ini diperparah dengan hilangnya sebagian lahan resapan alami yang sebelumnya berfungsi menampung air hujan, membuat beberapa wilayah di Tambun dan Cikarang mengalami banjir lebih sering dan lebih parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Kepala DLH Kabupaten Bekasi, Sutopo Rahardjo, menjelaskan bahwa pelanggaran tersebut tidak hanya berdampak pada lingkungan lokal, tetapi juga berpotensi mengganggu sistem hidrologi kawasan metropolitan Jabodetabek secara keseluruhan. “Kami menemukan bukti bahwa sebagian besar lahan hijau yang seharusnya menjadi zona resapan telah diuruk tanpa izin. Ini jelas melanggar prinsip tata ruang dan berkontribusi terhadap peningkatan risiko banjir di wilayah hilir,” tegasnya.

Penutupan proyek tersebut didasarkan pada temuan gabungan antara DLH, Dinas Tata Ruang, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Pemerintah daerah juga akan melakukan audit menyeluruh terhadap izin-izin proyek properti lain yang berada di wilayah rawan banjir. Jika ditemukan pelanggaran serupa, pemerintah tidak akan segan memberikan sanksi administratif, pencabutan izin, hingga pidana lingkungan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kasus ini menarik perhatian banyak pihak, termasuk komunitas pemerhati tata ruang dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan, yang menilai kejadian ini sebagai contoh nyata lemahnya pengawasan pembangunan di wilayah urban yang berkembang cepat. Direktur Eksekutif LSM Kota Hijau Foundation, Ratri Wulandari, menilai bahwa pembangunan yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan hanya akan menambah daftar panjang bencana ekologis di kawasan perkotaan.

“Banjir bukan semata karena curah hujan ekstrem, tetapi karena kebijakan tata ruang yang tidak berpihak pada keseimbangan ekosistem. Setiap meter persegi lahan resapan yang hilang berarti bertambahnya risiko bencana bagi ribuan warga di hilir,” ujarnya.

Selain penutupan proyek, Pemkab Bekasi berencana memperkuat pengawasan terpadu berbasis digital, termasuk penggunaan citra satelit untuk memantau perubahan tutupan lahan dan aktivitas konstruksi di area rawan banjir. Langkah ini diharapkan menjadi model baru penegakan hukum lingkungan perkotaan yang transparan dan berbasis data ilmiah.

Kasus pelanggaran ini menjadi peringatan keras bagi sektor properti agar lebih bertanggung jawab dalam menjalankan pembangunan berkelanjutan. Pemerintah daerah menegaskan bahwa Bekasi tidak boleh lagi menjadi korban dari pembangunan yang mengabaikan aspek ekologis. Dalam konteks yang lebih luas, kejadian ini juga menyoroti pentingnya integrasi antara penataan ruang, mitigasi bencana, dan keadilan lingkungan hidup sebagai fondasi kebijakan pembangunan perkotaan di masa depan.