Sukoharjo, 19 Juni 2025 — Sebuah laporan ilmiah terbaru yang dirilis oleh International Panel on Climate Metrics (IPCM) menimbulkan keprihatinan global setelah menyimpulkan bahwa target menjaga pemanasan bumi di bawah ambang 1,5°C dibandingkan era praindustri kini hampir mustahil tercapai. Temuan ini didasarkan pada analisis komprehensif terhadap data emisi karbon global, penyerapan karbon alami, serta proyeksi penggunaan energi fosil hingga akhir dekade ini.
Menurut laporan tersebut, dengan laju emisi gas rumah kaca saat ini, sisa “anggaran karbon” dunia yaitu jumlah karbon yang masih dapat dilepaskan ke atmosfer tanpa melampaui batas aman 1,5°C diperkirakan akan habis dalam waktu kurang dari dua tahun. Artinya, jika tidak ada penurunan drastis dalam konsumsi batu bara, minyak, dan gas bumi, dunia akan segera memasuki fase pemanasan yang tidak dapat dibalikkan (irreversible warming phase).
Ketua tim peneliti IPCM, Prof. Élodie Laurent, menjelaskan bahwa situasi ini merupakan sinyal bahaya bagi seluruh negara, terutama yang paling rentan terhadap dampak iklim ekstrem seperti gelombang panas, kekeringan panjang, dan banjir besar. “Kita kini tidak lagi berbicara tentang pencegahan pemanasan global, melainkan tentang meminimalkan kerusakan dan beradaptasi terhadap realitas iklim baru yang akan kita hadapi,” ujarnya dalam konferensi pers di Paris.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa tahun 2024 mencatat rekor suhu global tertinggi sepanjang sejarah, dan tren ini diperkirakan berlanjut hingga 2025 akibat kombinasi pemanasan jangka panjang dan fenomena El Niño. Akibatnya, ekosistem laut mengalami pemutihan karang masif, cadangan es di kutub terus menurun, dan pola cuaca ekstrem semakin tidak menentu di berbagai belahan dunia.
Para ilmuwan menyerukan agar masyarakat internasional segera mengubah fokus kebijakan dari sekadar mitigasi menuju strategi adaptasi dan ketahanan iklim (climate resilience). Negara-negara berkembang, termasuk di kawasan tropis seperti Asia Tenggara, dinilai perlu memperkuat sistem pertanian adaptif, pengelolaan air, dan infrastruktur tahan bencana untuk menghadapi perubahan yang semakin cepat.
Meski demikian, IPCM menegaskan bahwa upaya menekan emisi tetap harus menjadi prioritas utama, sebab setiap sepersepuluh derajat kenaikan suhu global akan memperburuk risiko kerusakan ekologi dan sosial. “Setiap ton karbon yang berhasil dikurangi masih berarti,” tulis laporan itu. “Mencegah pemanasan 1,6°C jauh lebih baik daripada membiarkannya mencapai 1,8°C atau lebih.”
Di Eropa, laporan tersebut memicu perdebatan politik baru tentang efektivitas kebijakan hijau Uni Eropa. Sejumlah anggota parlemen mendesak agar target net-zero emission dipercepat dari 2050 menjadi 2040, sementara kelompok industri menilai perubahan drastis semacam itu akan berdampak besar pada stabilitas ekonomi.
Sementara itu, berbagai organisasi lingkungan internasional seperti Greenpeace dan WWF menyerukan agar negara-negara maju meningkatkan pendanaan bagi adaptasi iklim di negara berkembang, yang paling terdampak namun memiliki kapasitas mitigasi terbatas. Mereka menegaskan bahwa krisis iklim kini bukan lagi ancaman masa depan, melainkan realitas hari ini yang menuntut tanggung jawab kolektif umat manusia.
Dengan situasi global yang semakin kritis, laporan IPCM tersebut menjadi pengingat keras bahwa waktu untuk bertindak hampir habis. Dunia kini dihadapkan pada pilihan yang sangat sempit: beradaptasi dengan cepat, atau menghadapi konsekuensi ekologis dan kemanusiaan yang jauh lebih parah di masa depan.
