RUU Keadilan Iklim Didorong untuk Lindungi Komunitas Rentan

Sukoharjo, 8 Oktober 2025 — Sebuah langkah bersejarah tengah diupayakan oleh koalisi masyarakat sipil, akademisi, dan kelompok nelayan dari berbagai wilayah Indonesia yang secara resmi mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Inisiatif ini bertujuan untuk memperjuangkan perlindungan hak-hak masyarakat yang terdampak langsung oleh krisis iklim mulai dari kehilangan sumber penghidupan hingga tempat tinggal akibat bencana alam yang semakin sering terjadi.

RUU Keadilan Iklim yang diusulkan tersebut menegaskan tanggung jawab negara dan pelaku industri besar dalam memberikan kompensasi serta dukungan adaptasi bagi warga terdampak, terutama di kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, dan daerah rawan kekeringan. Dalam draf awal, terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang mekanisme dana kompensasi iklim nasional, perlindungan terhadap komunitas rentan, serta penguatan peran masyarakat lokal dalam perencanaan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Koalisi yang tergabung dalam Gerakan Keadilan Iklim Indonesia (GKII) menilai bahwa Indonesia membutuhkan payung hukum yang tegas untuk mengatasi ketimpangan dampak iklim. Selama ini, masyarakat pesisir dan nelayan tradisional menjadi kelompok paling rentan terhadap kenaikan muka air laut, abrasi, dan penurunan hasil tangkapan ikan, namun belum memiliki perlindungan hukum yang memadai.

Ketua GKII, Nurul Aisyah, menjelaskan bahwa perubahan iklim telah menyebabkan ribuan keluarga nelayan kehilangan lahan tambak dan rumah dalam lima tahun terakhir. “Negara tidak boleh hanya fokus pada target emisi, tapi juga wajib menjamin keadilan bagi warga yang menjadi korban langsung dari krisis iklim. RUU ini adalah bentuk keberpihakan terhadap mereka,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta.

Selain itu, RUU ini juga menekankan pentingnya transparansi dana iklim internasional dan memastikan agar bantuan global yang diterima Indonesia benar-benar digunakan untuk membangun ketahanan masyarakat di tingkat lokal, bukan hanya untuk proyek berskala besar. Beberapa pasal juga mengatur sanksi terhadap perusahaan yang terbukti memperburuk krisis iklim melalui deforestasi, pencemaran, atau eksploitasi sumber daya berlebihan.

Dari sisi akademis, sejumlah pakar hukum lingkungan dan perubahan iklim menilai inisiatif ini sebagai tonggak penting dalam evolusi hukum iklim di Asia Tenggara. Jika disahkan, Indonesia akan menjadi negara pertama di kawasan ini yang memiliki undang-undang spesifik tentang keadilan iklim — mengintegrasikan aspek hak asasi manusia, tanggung jawab negara, dan perlindungan ekologis dalam satu kerangka hukum nasional.

Namun, tantangan besar masih menanti. Beberapa pihak di parlemen disebut masih memperdebatkan sumber pendanaan kompensasi iklim dan pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta. Meski demikian, dukungan publik terhadap RUU ini terus menguat, terutama dari komunitas nelayan, petani, dan masyarakat adat yang selama ini menjadi garda terdepan dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Koalisi masyarakat sipil berharap pembahasan RUU ini dapat dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2026, dan menjadi dasar bagi sistem hukum baru yang lebih adil dan inklusif terhadap kelompok rentan. Mereka menegaskan bahwa keadilan iklim bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga isu kemanusiaan dan hak hidup yang layak bagi generasi mendatang.