Sukoharjo, 10 Maret 2025 — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi mengumumkan penerapan penuh program Biodiesel B40, yaitu bahan bakar hasil campuran antara 40 persen minyak sawit (FAME) dengan 60 persen solar berbasis fosil. Langkah ini menjadi bagian penting dari strategi nasional untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar minyak serta memperkuat kemandirian energi berbasis sumber daya domestik.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan bahwa penerapan B40 akan memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Berdasarkan perhitungan pemerintah, program ini dapat menghemat devisa hingga Rp100 triliun per tahun, terutama dari penurunan volume impor minyak mentah dan solar. Selain itu, kebijakan ini diharapkan mampu mendorong peningkatan nilai tambah industri kelapa sawit nasional dan memperluas kesempatan kerja di sektor energi hijau.
“Biodiesel B40 bukan sekadar program energi alternatif, tetapi juga bagian dari transformasi menuju ekonomi rendah karbon. Kita ingin agar Indonesia menjadi pelopor dalam pemanfaatan bioenergi berkelanjutan di kawasan Asia Tenggara,” ujar Arifin dalam konferensi pers di Jakarta.
Namun demikian, di balik potensi manfaat ekonomi dan lingkungan yang dijanjikan, sejumlah peneliti dan pegiat lingkungan menilai bahwa implementasi B40 perlu disertai dengan mekanisme pengawasan yang lebih ketat. Mereka mengingatkan bahwa peningkatan kebutuhan bahan baku minyak sawit dapat mendorong ekspansi lahan perkebunan baru, terutama di wilayah hutan tropis Kalimantan, Sumatra, dan Papua yang masih menyimpan keanekaragaman hayati tinggi.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware, menekankan pentingnya memastikan bahwa bahan baku biodiesel berasal dari perkebunan yang legal, berizin, dan tidak berasal dari kawasan hutan lindung. Ia menilai bahwa tanpa pengawasan ketat dan transparansi rantai pasok, program B40 bisa menjadi bumerang bagi komitmen Indonesia dalam menekan deforestasi dan menurunkan emisi karbon nasional.
Beberapa pakar energi juga menyebutkan bahwa keberhasilan program ini bergantung pada inovasi teknologi dan efisiensi produksi biodiesel. Tanpa peningkatan produktivitas dan diversifikasi bahan baku, seperti dari minyak jelantah atau mikroalga, ketergantungan terhadap sawit berisiko menimbulkan tekanan ekologis dan konflik sosial di daerah penghasil utama.
Selain itu, lembaga penelitian internasional seperti International Council on Clean Transportation (ICCT) mencatat bahwa untuk menjadikan biodiesel benar-benar ramah lingkungan, pemerintah perlu memperketat standar keberlanjutan dan sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) agar sesuai dengan praktik terbaik global.
Pemerintah sendiri menyatakan komitmennya untuk menyeimbangkan tujuan energi nasional dengan keberlanjutan lingkungan. Dalam beberapa tahun mendatang, ESDM menargetkan pengembangan biodiesel dari sumber bahan baku non-sawit seperti jarak pagar dan nyamplung, serta mendorong investasi riset dalam pengembangan bioavtur dan bioetanol.
Dengan berbagai tantangan dan peluang tersebut, program B40 menjadi ujian penting bagi Indonesia dalam membuktikan bahwa transisi energi berbasis sumber daya alam dapat dilakukan secara adil, berkelanjutan, dan memberikan manfaat nyata bagi rakyat tanpa mengorbankan kelestarian hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia.
