Banjir Besar Melanda Jakarta dan Bekasi, Ribuan Warga Mengungsi

Sukoharjo, 5 Maret 2025 — Curah hujan ekstrem yang mengguyur wilayah Jabodetabek sejak awal Maret 2025 menyebabkan banjir besar yang melumpuhkan aktivitas warga di berbagai titik, terutama di kawasan Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Kota Bekasi. Hujan dengan intensitas tinggi yang berlangsung hampir tanpa jeda selama beberapa hari membuat sistem drainase kota tidak mampu menampung debit air yang meluap dari sungai-sungai utama seperti Ciliwung, Bekasi, dan Pesanggrahan. Akibatnya, air melimpas ke permukiman padat penduduk dan menggenangi rumah, sekolah, serta fasilitas publik lainnya.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) melaporkan bahwa lebih dari 60.000 warga harus dievakuasi ke pos-pos darurat yang tersebar di berbagai kecamatan. Tidak hanya itu, puluhan sekolah terpaksa diliburkan, ratusan kendaraan terendam, dan sejumlah ruas jalan protokol tergenang air hingga mencapai ketinggian dua meter. Kondisi ini menyebabkan kemacetan parah dan menghambat mobilitas logistik, termasuk pasokan bahan makanan dan air bersih ke wilayah terdampak.

Analisis awal menunjukkan bahwa penyebab banjir kali ini tidak semata-mata karena intensitas hujan yang tinggi, melainkan juga akibat rusaknya daerah resapan air di kawasan hulu. Maraknya pembangunan perumahan, kawasan industri, dan jalan baru di wilayah Bogor, Depok, serta Bekasi Selatan dinilai telah mempersempit lahan terbuka hijau dan mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air. Dalam dua dekade terakhir, area resapan di kawasan tersebut berkurang lebih dari 40 persen, sementara laju pembangunan terus meningkat tanpa diimbangi dengan perencanaan drainase terpadu.

Pemerintah daerah, bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menegaskan akan melakukan audit menyeluruh terhadap izin lingkungan sejumlah pengembang yang beroperasi di sekitar daerah aliran sungai (DAS). Langkah ini diambil menyusul dugaan bahwa beberapa proyek pembangunan tidak memenuhi standar pengelolaan lingkungan dan gagal menyediakan kolam retensi atau sumur resapan sesuai ketentuan.
Selain penegakan hukum, pemerintah juga berencana mempercepat program “Jakarta Tangguh Air”, yaitu revitalisasi sungai dan pembangunan waduk penampung di wilayah perbatasan hulu.

Sejumlah ahli lingkungan menilai kejadian ini menjadi peringatan keras bahwa urbanisasi tanpa kendali telah memperburuk kerentanan iklim di kawasan metropolitan terbesar Indonesia tersebut. Mereka menekankan pentingnya tata ruang berbasis ekosistem, peningkatan kesadaran warga dalam pengelolaan sampah dan drainase lingkungan, serta sinergi lintas daerah untuk mengendalikan banjir di masa mendatang.